Tujuan demokrasi sangatlah mulia, bukan sekedar bergaya menjadi negara yang gegap gempita, namun menjamin semua rakyat tak hidup melarat, pendidikan mudah didapat sepanjang hayat, yang berbeda pendapat masih mendapatkan tempat, jika sakit tak sulit untuk mendapatkan obat, dan membentuk bangsa bermartabat karena pemimpin yang dipilih untuk menjadi penyelamat.
Perjalanan demokrasi Indonesia dimulai pada Periode 1945 - 1959 (Demokrasi Liberal atau Demokrasi Parlementer), Periode 1959 – 1965 (Demokrasi Terpimpin), Periode 1965 – 1998 (Demokrasi Orde Baru) dan Periode 1998 – sekarang (Demokrasi Era Reformasi). Demokrasi secara langsung di Indonesia terjadi pada tahun 2004 yaitu saat pemilihan umum (PEMILU). Ada lima pasangan calon yang ikut kontestasi saat itu, yang mana hasilnya Susilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai presiden Indonesia yang keenam dan Jusuf Kala sebagai wakil Presiden.
Selanjutnya PEMILU dilakukan 5 tahun sekali pada tahun 2009, 2014, 2019 dan nanti 2024. Banyak sekali dinamika yang terjadi saat pemilu, mulai dari kota sampai ke desa semua ditandangi untuk meraup suara, mengobral banyak janji walau akhirnya tak terbukti tapi nanti minta maaf lagi.
Demokrasi tidak hanya berbicara kebebasan memilih saat PEMILU, lebih dari itu demokrasi ialah kebebasan bagi masyarakat untuk beragama, berserikat, menyampaikan pendapat dan sebagainya selama itu tidak melanggar hukum. Hal ini sejalan dengan pasal 28 E ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945 berbunyi “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.
Berangkat dari sistem demokrasi ini tentu masyarakat mulai berani untuk mengekspresikan apa yang ia rasakan, baik dalam ucapan maupun tindakan, payung hukum sudah terbuka.
Presiden Indonesia saat ini Ir. Joko Widodo (JOKOWI) juga pernah membuat pernyataan kangen didemo, silahkan kritik pemerintah. Ir. Jokowi sebagai kepala negara sudah mengizinkan untuk dikritik. Kritik itu baik agar jarak antara pemimpin dan rakyat tidak begitu jauh. Setiap masa ada orangnya dan setiap orang ada masanya, zaman terus berkembang, teknologi semakin maju, cara berpikir semakin cerdas dan tentunya ini juga mempengaruhi bagaimana cara masyarakat mengekspresikan apa yang dirasa, ada yang melalui tulisan, video, gambar, baik itu di media sosial, media cetak dan diskusi publik.
Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) pernah membuat meme foto Presiden Jokowi dengan tulisan The King of Lip Service, tentu ada sebabnya kenapa meme itu dibuat atau mereka sudah ada menemukan antara ucapan terbantahkan oleh fakta, akhirnya BEM UI dipanggil oleh pihak rektorat dan diminta agar meme itu di take down.
Seniman membuat mural bertuliskan “Tuhan Aku Lapar”, “Dipaksa Sehat Di Negara Yang Sakit”, “404:not found” dengan gambar yang di duga mirip presiden, akhirnya mural dihapus dan si pembuat dicari. Hutan digambar dengan jutaan pohon dibakar, menggali tanah untuk batubara demi mengikuti nasfu yang membara, korupsi uang negara demi memenuhi hedonisme keluarga, mengambil alih kepemimpinan secara ilegal karena pemikiran yang begitu bengal, bukankah mencari dan mengamankan oknum seperti ini lebih penting ketimbang si seniman?
Benarkah Demokrasi kita menurun ? Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan bahwa kinerja demokrasi di Indonesia terus melemah dalam beberapa tahun terakhir, jika didasarkan pada indeks demokrasi Economics Intellegence Unit (EIU) 2019. “Selama enam tahun terakhir rating (EIU) kita drop sekali dalam 3-4 tahun terakhir,” katanya dalam acara Rilis Survey Nasional Indikator 25 Oktober 2020: Politik, Demokrasi, dan Pilkada di Era pandemi.
Hal itu disebabkan oleh berbagai hal, di antaranya politik identitas yang naik dan penurunan kebebasan sipil. (sumber: Bisnis.com judul "Survei Indikator: 36 Persen Responden Sebut Demokrasi Indonesia Alami Penurunan").
Seperti halnya intimidasi yang terjadi pada BEM UI, seniman mural yang tidur tak nyenyak setelah gambarnya viral, dengan adanya kriminalisasi aktivis saat demonstrasi, disahkannya UU MD3 yang menghina anggota DPR bisa dilaporkan sementara ia wakil rakyat tapi enggan dikritik, disahkan UU ITE dimana dalam penerapannya banyak kontroversial, ketika anggota DPR berbicara menolak Omnibus Law pimpinan matikan mic dengan slow, mencanangkan jabatan presiden tiga periode disaat rakyat susah walaupun menabrak regulasi nanti direvisi, mengambil alih kepemimpinan partai disaat yang lain sibuk mengurusi pandemi yang tak usai, menyunat bantuan sosial untuk rakyat disaat perkonomian keluarga sedang sekarat, ini beberapa hal yang menciderai demokrasi.
Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah (Soe Hok Gie, aktivis 1942-1969).
Sistem demokrasi yang dipilih Indonesia sudah baik, tinggal bagaimana menjalankannya. Berbeda pendapat itu hal biasa, tapi jangan perbedaan itu kemudian diperuncing yang akhirnya membuat perpecahan, bukankah lawan berdebat adalah teman berpikir?. Baru saja kita merayakan kemerdekaan Indonesia yang ke 76, tentu banyak harapan baik diusia negara yang tak muda ini, kita berharap demokrasi sehat yang tumbuh bak jamur dimusim hujan.
NAMA : FEBI LISTIYANI
NIM : 231090250034
KELAS : 02HKSE001
MK : PENDIDIKAN PANCASILA